Ayah Bunda pasti tahu dong kalau manfaat gadget itu banyak. Terutama di era milenial begini, banyak tantangan hidup yang harus dihadapi dengan kemampuan bergadget. Jadi, sebenarnya gadget bukan benda yang harus ‘dimusuhi’ artinya nggak perlu pobia gadget.
Nah, karena tema kulwap ini “Gadget dan Perilaku Negatif Anak” maka materi tentang manfaat positifnya tidak akan dibahas di tulisan ini ya.
Lalu, mengapa tema ini dipilih?
Ya karena banyak orangtua mengeluhkan perilaku negatif anaknya terkait dengan gadget. Misalnya, “Anak saya pelit banget kalau uangnya dipinjam untuk beli peralatan sekolah atau jajan, tapi boros banget kalau untuk beli pulsa.” Atau, “kalau sudah fokus dengan gadget, meski emaknya jungkir balik di dapur, eee… pas ada tamu ketok-ketok pintu juga tetap dicuekin.”
Ada juga yang gini, “Duh, anak saya kok kasar banget ya perilakunya, apa karena niru game yang sering dimainkan di gadgetnya?”
Dan masih banyak lagi….
Kok bisa sih perilaku sepeeti itu muncul?
Dampak Gadged Terhadap Perilaku Anak
Saat anak-anak beraktivitas dengan gadget, mereka menemukan ‘dunia lain’. Misalnya, saat usia dini biasanya distelkan musik agar ikut menyanyi, nonton kartun lucu atau yang berhikmah, maka segenap mata, telinga, pikiran dan hati tertuju pada apa yang ditampilkan di layar gadget. Energi daya pikir dan kerja saraf juga terpusat pada hal yang sama. Indera yang terkait motorik pun, jadinya hanya ‘tergerakkan’ jika terhubung dengan pusat fokusnya saja.
Kondisi ini berulang secara rutin, setiap hari bahkan dalam sehari bisa melebihi batas ambang kekuatan fokus anak di usia dini. Akibatnya proses tumbuh kembang sel otak dan syarafnya tentu mengalami gangguan alias ‘korslet’ 🤭
Lha wong gadgetnya aja kalau digunakan melampaui kapasitas specnya juga bakal eror kok. 😁
Gangguan tumbuh kembang sel otak dan saraf tersebut yang kemudian bisa berlanjut pada penurunan fungsi kerja bagian-bagian otak. Kemudian penurunan kemampuan fungsi otak ini bisa mempengaruhi kemampuan anak dalam proses belajar memahami sesuatu (kreativitas dan kecerdasan), juga tentang hal baik-buruk dan hal benar-salah.
Lalu, jika kondisi tersebut terjadi, bisa dibayangkan akan seperti apa perilaku anak?
Itu baru tinjauan kognitif lho ya….
Baca juga ya Bunda 7 Langkah Mudah Mengendalikan Emosi
Gadged Sebagai Pelarian Anak dari Masalah
Pada anak-anak usia sekolah (fase 2) dan remaja, gadget sering menjadi ‘pelarian’. Misalnya, saat nunggu antrian atau menunggu sesuatu, pas sendirian pun biasanya buka gadget, ngecek chatingan di grup medsos, buka link yang ada di gadgetnya, ataau bahkan bisa jadi ngegame.
Tentu saja tujuannya menghilangkan kebosanan. Akan tetapi kemudian anak menemukan dan merasakan kenyamanan dan keseruan dengan aktivitas yang dilakoninya dengan gadget. Keseruan tersebut memicu hormon di otaknya hingga memberi dorongan untuk melakukannya lagi berulang kali.
Barulah ketika di dunia nyata anak menemui kesulitan dan ketidaknyamanan, seperti dimarahi guru karena tidak mengerjakan PR, diejek teman, dimarahi orang tua karena bangun kesiangan dan yang lainnya. Otaknya pun akan memberi perintah untuk kembali ke dunia ‘gadget’.
Emosi anak sudah dipengaruhi hormon-hormon yang bekerja di otaknya, sehingga gadget sudah menjadi lebih penting dari segalanya. Akibatnya muncul perilaku egois, agresif menyerang, mudah tersinggung, cuek pada sekitar, sulit diingatkan, malas untuk produktif, dan enggan beraktivitas yang berhubungan dengan alam nyata.
Contoh Kasus Dampak Negatif Gadget Terhadap Anak
Fulan suka main game tapi tidak kecanduan, hanya sesekali saja. Suatu hari dia tidak bisa menjawab pertanyaan gurunya di kelas, teman-teman mentertawakan. Sesampai di rumah ibu menegur karena tadi pagi fulan belum merapikan tempat tidurnya.
Fulan jengkel karena hari itu semua orang menyalahkan dan memojokkannya, dia kemudian main game untuk menghibur diri.
Saat main game, Ia bisa mengalahkan musuh, mendapat score tinggi, mendapat bonus, mendapat kata-kata pujian. Hormon endorphin di otaknya meluber, dia bahagia tapi juga tertantang dengan tawaran game level berikutnya. Hormon adrenalin di otaknya pun bekerja dan mendorong Fulan makin seru menerima tantangan. Fulan pun dihujani kata-kata pujian saat meraih score tinggi, Ia merasa menjadi champion sekaligus hero. Hormon dopamine di otaknya pun mempengaruhi pola pikirnya untuk mengabaikan yang lain guna terus main dan main.
Maka, saat ibu memanggil karena hujan turun dan jemuran belum diangkat dia tidak peduli. Saat ibu mendatangi dan meminta perhatiannya secara halus, dia cuek. Ketika ibu menegur dengan marah, dia pun bangkit dengan penuh emosi membentak balik ibunya disertai melempar vas bunga, membanting pintu kamar dan ngegame lagi. Kondisi ini berarti sudah masuk tahap kecanduan.
Ini contoh kasus kecanduan game dan bisa jadi berdampak sama untuk gadget lainnya sehingga sering muncul kalimat “Ini pasti gara-gara gadget.”
Nah, lho gadget yang disalahin 😀🤭
Stop Menyalahkan Gadged
Gadget hanyalah alat bantu untuk memudahkan urusan manusia dalam rangka bertahan dan menghadapi tantangan hidup. Benda mati 😅 Kuncinya itu ada di kita, manusianya sebagai pengguna dan pengendalian diri serta kelekatan dalam keluarga.
Kok bisa?
Iyalah… Coba simak lagi kasus Fulan tersebut. Kelekatan dalam keluarga akan mengubah haluan pelarian Fulan dari gadget ke orang, mungkin ayah atau bundanya.
Caranya?
Bangun interaksi yang hangat antar anggota keluarga. Jangan hanya sebatas obrolan dan aktivitas formalitas yang rutin dan monoton, karena itu akan dirasakan hambar oleh anak.
Dalam hal pengendalian diri, sebenarnya yang utama adalah keteladanan dari orang tua. Kemampuan orang tua mengendalikan diri dalam ‘pengadaan’ gadget di rumah dan pemakaian gadget saat bersama keluarga secara konsisten.
Mungkin Bunda pengin baca kulwap Memilih Sekolah untuk Anak
Soal tontonan misalnya, banyak kan orang dewasa yang hanyut dalam drakor (drama korea) hingga seolah kejadian yang ditonton itu nyata di hadapan. Pada anak dan remaja, hanyut dengan tontonan itu bisa mempengaruhi produksi hormon di otak yang mendorongnya untuk melakukan hal yang sama dengan yang ditonton.
Belum lagi konten-konten unfaedah yang diposting para youtuber hingga menghasilkan banyak uang, tak jarang para orangtua pun ikut-ikutan ‘ngefans’ sang youtuber secara tak terkendali.
Jadi, di sinilah faktor keteladanan pengendalian diri orangtua dan standart nilai aturan dalam keluarga sangat berperan.
Tips Agar Anak-anak Beraktivitas Positif dengan Gadged
Berikut beberapa tips yang bisa diterapkan untuk anak-anak agar bisa beraktivitas positif dengan gadgetnya.
- Membuat aturan yang disepakati bersama keluarga (bukan sepihak dari orangtua).
- Ajak anak menentukan apa yang paling ingin diakses (diketahui).
- Temani anak untuk mencari bersama (terutama anak yang belum baligh) informasi melalui gadget.
- Ajak dan dampingi anak mencoba hal baru sesuai kesukaannya (maksudnya buka web atau mempelajari aplikasi).
- Perbanyak cerita agar imajinasi anak menari seiring keindahan teknologi yang positif.
- Sediakan waktu bersama anak untuk membicarakan tentang penggunaan gadgetnya setiap hari (ngobrol ya, jangan semacam menginterogasi, apalagi intimidasi hehehe).
- Apresiasi setiap hal positif yang dilakukan dengan gadgetnya.
- Temukan passion yang bisa mendukung bekal kehidupannya di masa yang akan datang.
- Sebagai figur keteladanan bagi anak, tetaplah memberi contoh penggunaan teknologi informatika yang sehat dan bertanggungjawab.
Itu dia sharing dari Bunda Abyz Wigati tentang Gadget dan Perilaku Negatif Anak. Seperti Kulwap yang lain, akan ada tanya jawab seputar materi atau permasalahan yang dimiliki orang tua terkait gadget. Berikut rangkumannya.
Ayah Bunda Bertanya, Bunda Abyz Menjawab
Pertanyaan 1
Saya mau bertanya tentang pernyataan bu Abyz yang ini “Dalam hal pengendalian diri, sebenarnya yang utama adalah keteladanan dari orangtua, kemampuan orangtua mengendalikan diri dalam ‘pengadaan gadget di rumah dan pemakaian gadget saat bersama keluarga secara konsisten”. Contoh kongkritnya seperti apa ya? Saya ingin belajar bagaimana peraturan di rumah Bu Abyz sendiri dalam pemakaian gadget saat bersama keluarga.
Jawaban
Contohnya, jika orang tua menginginkan anak tidak berlebihan dalam menggunakan gadget maka mesti dibuat aturan dan kesepakatan yg mengikat bagi keluarga untuk dijalankan dengan konsisten oleh semua anggota keluarga termasuk orang tua.
Contoh aturan yg disepakati, saat makan bersama tidak diperkenankan pegang hp maka semua termasuk orang tua, sebaiknya hp disimpan dan disilent jadi semua fokus membangun keakraban dgn keluarga saat makan. Meskipun ingin sekali ngecek hp ya harus tahan 😁
Kalau standart di keluarga kami aturan bergadget
- Produktif
- Tetap interaktif
- Pengendalian diri
Misal saya gadgetan terus target harian tidak tercapai maka kena pinalti pelanggaran. Jatah jam bergadget buat besok dikurangi 😀
Pertanyaan 2
Memang orang tua harus kreatif mengajak anak untuk berkegiatan selain gadget. Kedekatan seperti apa yang perlu dibangun, Bu?
Jawaban
Kedekatan yg dibangun ya melalui kegiatan-kegiatan kreatif itu sendiri, dan ketika anak fokus dengan gadget usahakan tetap ada proses interaktif. Jadi ya dikomentari ngegamenya, kalo nonton ya diobrolkan tontonannya, sesekali menepuk pundaknya dll.
Dengan begitu meski fokus di gadget sensoriknya tetap jalan. Tapi dengan catatan, ya keseharian dengan anak sudah dekat, biasa ngobrol bareng, guyonan bareng, diskusi bareng dan berbagai aktivitas lain. Jadi hubungan orang tua anak gak cuma formaliras seperti cuma tanya sudah makan apa belum? PR nya sudah dikerjakan apa belum? 😁
Pertanyaan 3
Tentang indikator kecanduan gadget, apakah cuek saja karena sedang fokus pada satu hal (sama seperti orang dewasa saat nonton tayangan favorit fokus, tidak menggubris sekelilingnya) atau harus ada perpaduan cuek lalu saat diingatkan ada emosi negatif yang terlihat? Terima kasih.
Jawaban
Banyak pendapat berbeda tentang indikator kecanduan gadget.
Kalau saya, berdasarkan pengalaman menangani anak saya yg juga pernah kecanduan game, saya mengkategorikan menjadi
Kecanduan ringan ketika merasa tidak nyaman tanpa gadget hingga tidak peduli dengan yg lain.
Kecanduan sedang ketika sudah diikuti dengan kemarahan, kebohongan dan kejahatan sejenis
Kecanduan berat ketika sudah tidak peduli dengan diri sendiri, gak merasa lapar, gak merasa lelah, gak ngantuk medki gak tidur berhari-hari krn dalam.pikirannya hanya mau ngegame aja
Pertanyaan 4
Lalu bagaimana dengan anak yang sudah kadung kecanduan gadget, Bu? Saya bekerja, anak di rumah sama kakek nenek yang penting anak anteng dikasih gadget.
Jawaban
Kalau masih kecanduan ringan, orang tua bisa ‘mengambil alih’ peran gadget. Beri anak perhatian sesuai yg dia butuhkan, alihkan ke kegiatan lain yang menyenangkan. Bisa diawali dengan saat anak fadgetan orangtua nimbrung ya jadi tetap ada proses interaktif antara ortu dan anak untuk menjalin kedekatan. Jika kedekatan sudah terjalin, maka saat orang tua mau ngajak beraktivitas lain anak akan bersedia. Jika belum terjalin kedekatan biasanya anak menolak atau terpaksa mau tapi jadi gak seru aktivitasnya 😁
Kalau sudah tingkat sedang, ortu mesti lebih banyak menyediakan waktu untuk membersamai anak termasuk saat anak bergadget guna memenuhi kebutuhan dasar emosi anak, sehingga pelarian anak ke gadget bisa terus berkurang. Tahap berikutnya, orang tua juga bisa ajak anak menekuni passionnya untuk mengalihkan bentuk aktivitas yg ditekuni.
Jika sudak kecanduan berat sebaiknya hubungi konselor atau psikolog untuk penanganan yg tepat.
Pertanyaan 5
Menurut teori ada kah batas maksimal waktu menggunakan gadget menurut usia?
Jawaban
Pendaoat para pakar berbeda-beda. Saya pilih balita tidak terpapar. Jadi kalau hp ya cukup dikenalkan sebagai alat komunikasi. Usia sekolah menurut kak seto maksimal 2 jam sehari. Usia remaja per jam istirahat minimal 20 menit.
Pertanyaan 6
“apresiasi hal positif tiap apa yang dilakukan dengan gadgetnya” Ini maksutnya gimana ya bun?
Jawaban
Jika anak menggunakan gadget untuk membuat karya tulisan, menggambar, jualan online, baca berita, cari resep dll aktivitas positif. Berikan apresiasi supaya anak memahami bahwa ada value yang ia peroleh jika menggunakan gadget untuk hal positif
Pertanyaan 7
Kasus 1: Saya seorang guru. Anak murid saya, sehari-hari tinggal bersama ibunya. Ayahnya merantau. Sebulan sekali pulang. Difasilitasi gadget, berpulsa. Efeknya tahu sendiri lah ya. 🤭 Orang tuanya sekarang mengeluh bagaimana mengatasi anaknya yang mudah tantrum, ogah belajar, kasar, dan sering caper dengan cara making trouble. Saran apa yang bisa saya berikan sebagai guru pada ortunya?
Kasus 2: Bila anak usia pra aqil baligh bisa diberi treatment preventif, bagaimana dengan anak usia aqil baligh yang sudah terlanjur terpapar gadget beserta efek2 negatifnya? Bantuan seperti apa yang bisa dilakukan guru kepada siswa tersebut?
Jawaban
Kasus 1: Sarankan supaya orangtua anak membuat aturan yg disepakati terkait penggunaan gadget lalu dijalankan secara konsisten.
Kasus 2: Untuk orang yg sudah dewasa (aqil baligh) memang harus dari orangnya sendiri yg punya kemauan untuk memperbaiki diri.
Guru mungkin bisa membantu mengarahkan agar kegemarannya bergadget digunakan utk produktif. Memang gak bisa kalau hanya guru yg berperan, orangtua justru lebih utama perannya.
Pertanyaan 8
Apa urgensi pemberian HP untuk anak, Bun?
Jawaban
Untuk Balita gak ada urgentnya menurut standart di keluarga saya. Untuk usia sekolah untuk berkomunikasi dan berkarya menurut standart di keluarga saya 😀🙏 Pastinya di setiap keluarga berhak punya standart nilai yang bisa berbeda dengan keluarga lain. Yang penting dijalankan dengan konsisten. Menentukan standart aturan di keluarga perlu menyesuaikan sikon masing-masing. Jangan lupa pertimbangkan manfaat dan risikonya
Jika Ayah Bunda ingin ingin bertanya seputar materi bisa ditulis di komentar ya atau bisa juga email langsung ke admin. Terima kasih Ayah Bunda sudah meluangkan waktu membaca.