Apa kabar Ayah Bunda? Sharing parenting kali ini tentang anak membangkang ya. Nah, apa yang Ayah Bunda pikirkan jika mendengar kata “membangkang?” Mungkin Ayah Bunda berpikir tentang melawan dan tidak patuh ya. Atau bisa jadi Ayah Bunda berpikir jika anak yang membangkang adalah anak nakal.
Baiklah, daripada berasumsi yang bermuara pada menyalahkan anak bagaimana kalau kita lanjutkan membaca pemaparan Bunda Abyz tentang anak yang membangkang dan bagaimana mengatasinya.
Menurut Bunda Abyz Wigati, membangkang biasanya diidentikkan dengan melawan, tidak patuh atau apapun yang dianggap bikin jengkel, kesal, kecewa marah, pokoknya menguras semua jenis emosi. Seringkali Ayah Bunda langsung mati gaya saat menghadapi sikap anak yang membangkang.
Lha terus kalau anak sering demikian, apa iya Ayah Bunda mau bolak-balik mati gaya? Hehehe….
Biar enggak bolak-balik mati gaya, jadikan setiap sikap ‘membangkang’ sebagai tantangan dan bukan masalah. Anak-anak hidup di kondisi zaman yang berbeda dengan Ayah Bunda. Terlebih perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat di abad 21 ini mengakibatkan rentang perbedaan yang sangat jauh antara situasi zaman orangtua dengan zaman anak.
Bahkan fasilitas hidup dan beban persoalan yang dihadapi anak di era milenial ini juga jadi jauh berbeda.
Nah, berawal dari sinilah muncul yang namanya “PERBEDAAN” dalam banyak hal antara orangtua dan anak. Misalnya beda persepsi, beda pendapat, beda prinsip dalam menghadapi tantangan, beda pengetahuan, beda skill dan beda-beda yang lain.
Lalu, apa yang bisa dilakukan Ayah Bunda jika anak membangkang? Menurut Bunda Abyz, Ayah Bunda dapat menerapkan lima hal berikut.
Mengubah Mindset
Langkah pertama yang bisa dilakukan Ayah Bunda untuk menghadapi sikap anak yang ‘membangkang’ adalah mengubah mindset diri bahwa sikap tersebut bukanlah tidak patuh atau membangkang. Anak hanya memiliki sikap yang berbeda dengan yang orang tua inginkan. Nah, kalau berbeda itu kan biasa jadi tidak perlu panik apalagi emosi.
Kenali Fase Anak
Langkah kedua, kenali dulu anak yang bersikap demikian berada pada fase tumbuh kembang yang mana (lihat usia dan tanda-tanda fisik/biologisnya). Biasanya berubahnya sikap anak terhadap Ayah Bunda terjadi di masa-masa transisi fase tumbuhkembangnya. Misalnya dari batita menuju balita, dari balita menuju usia sekolah, dari masa anak-anak menuju remaja dan dari remaja menuju dewasa.
Bisa juga transisi dari tidak punya adik jadi punya adik, dari bundanya di rumah ke kondisi bunda kerja kantoran, dari belum sekolah jadi harus sekolah, dan lain-lain kondisi yang berubah.
Kondisi transisi seringkali mengaktifkan hormon yang mengakibatkan perubahan perilaku sehingga anak ‘membangkang’.
Berikan Respon Empati
Langkah ketiga berikan respon dengan empati terlebih dahulu. Usahakan seolah Ayah Bunda berada dalam posisinya dan punya keinginan yang sama dengannya, lalu apresiasi sikapnya sebagai keberanian untuk menyampaikan perbedaan kemauannya kepada orangtua.
Jika memungkinkan berikan sentuhan fisik pada anak, seperti pelukan, tepukan di pundak, elusan lembut di kepala atau di punggung atau sentuhan lain yang memungkinkan. Tujuannya untuk membuat anak bisa merasakan kehangatan, bahwa meskipun anak bersikap berbeda dengan keinginan orang tua tapi orang tuanya tetap menyayanginya.
Imbangi dengan Penjelasan
Langkah selanjutnya adalah imbangi dengan memberikan penjelasan sebagai bentuk kontrol sekaligus proses belajar bernegosiasi. Proses ini sebaiknya diawali dengan memberi kesempatan pada anak untuk menyampaikan pendapat dan alasannya lebih dulu. Ayah Bunda bisa menjadi teladan pendengar yang baik sebelum meminta giliran untuk didengarkan.
Jika anak di fase pertama (usia balita/pra sekolah), komunikasikan dengan ekspresi yang menyenangkan. Caranya berkomunikasilah bagai dengan seorang raja, dirayu, dibombong, pokoknya sehalus mungkin. Namun jika anak tetap melawan, peluk dan gerakkan kearah yang seharusnya, tetap dengan senyum dan tanpa kata-kata amarah.
Jika anak sudah di fase kedua, proses negosiasi sudah bisa dilanjutkan dengan penjelasan konsekwensi yang terdiri atas risiko dan manfaat. Namun ketika anak bersikukuh dengan kemauannya yang tidak bisa Ayah Bunda penuhi, maka beranilah berkata, “Maaf, kali ini ayah/bunda tidak bisa memenuhi kemauanmu karena bla..bla..bla…….”
Ingat ya Ayah Bunda, tetap dengan senyum dan tanpa kalimat ancaman dan kemarahan.
Jika anak sudah di usia remaja-dewasa, beranilah untuk memberi kesempatan kepada anak untuk mengambil langkah sesuai pola pikirnya. Kewajiban orangtua hanya sampai menjelaskan konsekwensi dan menjalankannya secara konsisten. Detailkan konsekwensi yang orangtua jelaskan dalam bentuk kesepakatan dengan anak.
Di fase usia ini, anak-anak juga perlu belajar dari pengalaman berbuat kesalahan, karenanya tidak harus terus-menerus diarahkan agar terlindung dari perbuatan salah. Asalkan di fase usia sebelumnya orangtua telah memberikan bekal yang sesuai kebutuhan melalui pola asuh yang tepat.
Penuhi Tangki Cintanya
Langkah terakhir nih, adakalanya anak-anak menunjukkan sikap membangkang tanpa sebab yang jelas, ‘menggoda atau nggudo kalau istilah Jawa’. Anak semaunya sendiri, sulit diajak kerjasama dan selalu membantah setiap berkomunikasi dengan Ayah Bunda.
Nah, jika kondisi ini terjadi sebenarnya bisa jadi itu suatu isyarat atau tanda-tanda bahwa ‘tangki cinta’ anak mulai banyak terkuras. Jadi perlu diisi kembali dengan kebutuhan dasar emosinya yaitu, perhatian dan kasih sayang, merasa dicintai, dan mendapat kepercayaan untuk mengontrol dirinya sendiri.
Tugas orangtua mengisi tangki cintanya anak, jika kebutuhan dasar emosinya telah terpenuhi maka hormon endorfinnya akan banyak terproduksi sehingga otak berpikirnya bisa mengendalikan perilaku dengan lebih baik.
Pastinya, perilaku membangkang itu bukan tanpa sebab. Terjadinya bisa sewaktu-waktu dan seringkali di luar dugaan alias bikin kaget. Penjelasan Bu Abyz di atas tidak bisa selalu tepat saat dipraktekkan, namun bisa menjadi bekal supaya tidak lagi panik dan berpikir negatif ketika menghadapi sikap membangkang anak dan tidak lagi mati gaya… 😀😅
Sikap pengendalian diri orangtua akan menjadi contoh teladan bagi anak untuk bersikap pada orangtua. So, be positif thinking and habbit.
Good Parenting untuk Indonesia yang Lebih Baik.