Halo, Bunda …
Sharing parenting kali ini Bunda Abyz akan berbagi tentang mental negatif yang dapat mempengaruhi kinerja seseorang. Mental negatif tersebut misalnya, tidak punya inisiatif, kurang kreatif, tidak suka bekerja keras, sering mengeluh, gaji berapapun selalu merasa sedikit, dan lain sebagainya.
Mungkinkah mental negatif ini banyak dialami anak-anak muda?
Nah, menurut Bunda Abyz, bukan hanya anak muda yang mengalami hal tersebut. Kecenderungannya, anak-anak yang berada di fase ke-2 belum diperlakukan secara tegas dan hangat, banyak didikte dan tidak mendapatkan stimulan untuk memahami sebab-akibat. Akibatnya kemampuan mereka tidak bertumbuh dengan optimal untuk berinisiatif. Selain itu krativitasnya kurang berkembang dan kepeduliannya juga terbatas.
Tegas dalam artian anak diberikan tanggungjawab sesuai standart kemampuan di fase tumbuhkembangnya (setidaknya yang menyangkut kepentingannya sendiri). Sedangkan hangat itu diapresiasi, tidak dikritik tapi diinformasikan dan diberi kesempatan untuk ‘salah’ agar bisa belajar memperbaiki.
Oleh karenanya di fase remajanya, ego keakuannya meningkat drastis, sulit untuk bisa memahami persoalan hidup dan kepentingan orang lain. Jika kondisi ini dibiarkan, maka saat memasuki fase dewasa perilaku kerjanya cenderung negatif. Mengapa? Karena mental produktifnya belum tumbuh optimal.
Anakku Jangan Mengalami Kesulitan Seperti Aku
Saat ini ada pola, orang tua cenderung berpikir bahwa ‘anakku jangan sampai mengalami kesulitan seperti aku dulu’ (ojo soro koyok aku biyen). Akhirnya berbagai fasilitas kemudahan diberikan oleh orang tua kepada anak.
Bahkan ada anak yang tidak bisa mengurus SIM sehingga ibunya yang berangkat dan anak santai di rumah (SIMnya nembak). Lalu saat ada pertanyaan,”gimana proses mengurus SIM nya?” jawabannya, “Gak tahu, Mama”
Ada juga yang model seperti ini:
Memperlakukan anak seperti masih TK padahal mereka sudah tumbuh menjadi remaja. Sering mendiktekan anaknya apa-apa yang harus dikerjakan hari ini. Misalnya, “Mandi jam 6 ya, sudah mama rebuskan air. Makan pakai sayur soto aja biar perutmu hangat. Bajunya pakai yang biru aja, yang merah belum mama setrika. Kuliah di PTN aja kalau gak ketrima ya nanti masuk lewat jalur mandiri. Kerja di PT anu aja, ada om kamu yang bisa bantu masukin. Jangan mau kerja di situ gajinya kecil gak level sama gelarmu.” Dan masih banyak lagi …
Intinya, selain perlakuan yang kelewat memprotek dan over memfasilitasi, orang tua tidak sadar telah melakukan intervensi berlebihan. Bahkan hampir di sepanjang fase tumbuh kembang anak.
Begitulah, anak jadi tidak terstimulasi untuk berinisiatif dan menentukan pilihan yang tepat bagi dirinya. Parahnya hanya tahu bahwa yang dikatakan orang tuanya, itulah yang baik dan benar bagi dirinya.
Berikut ini pengamalan yang lebih tepat dalam hal perlakuan (metode). Contoh kasus pada keluarga Bunda Abyz ya.
“Ketika anak butuh laptop, kami (orang tua) minta untuk membuat rencana penggunaannya untuk apa saja yang produktif. Lalu kami buat aturan terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan jika sudah ada laptop.
Berikutnya berusahalah beli dengan uang hasil jerih payah sendiri, orang tua ikut nyumbang (tapi jumlahnya lebih sedikit dari uang anak). Jika masih kurang boleh utang dengan syarat harus dicicil setiap bulan sesuai kemampuan anak. Ini untuk memotivasi agar laptopnya digunakan lebih produktif.
Utangnya ke mana? Ya ke orang tuanya. Tapi kami tidak menyampaikan pada anak bahwa itu pinjam uang ortunya, kami bilangnya pinjam uang darurat di rekening bank.”
Itu contoh saja ya, silakan dimodifikasi sesuai kondisi keluarga masing-masing.
Maksud Baik Orang Tua Bisa Menjadi Racun
Ayah-bunda, maksud baik orang tua dengan cara yang kurang tepat pada anak justru bisa menjadi racun bagi proses tumbuh kembang anak. Karenanya, jangan pernah berhenti untuk terus meng-update ilmu pengasuhan karena persoalan parenting akan terus berkembang dan tidak stagnan.
Memang, menjadi orangtua itu tidak harus selalu benar. Namun berikhtiar agar punya bekal yang tepat dalam proses mendidik dan mengasuh anak itu adalah keniscayaan yang tak terhindarkan. Dengan bekal yang mumpuni kita akan lebih percaya diri dalam menjani proses parenting dengan bahagia.
Bagaimana kalau anak memiliki mental negative seperti yang diceritakan Bunda Abyz?
Setelah sampai pada fase dewasa, setiap individu bertanggungjawab atas dirinya sendiri, jadi harus mau mengubah jika ingin kondisinya lebih baik.
Nah, kalau dari diri sendiri tidak ada kemauan untuk berubah lebih baik, sayang sekali mereka akan masuk golongan orang-orang yang merugi.
Demikian Selasa Sharing di WA Group Alumni Sekolah Parenting yang bisa kami bagikan. Semoga bermanfaat ya Ayah-Bunda. Jika ada yang ingin ditanyakan terkait sharing parenting ini atau masalah parenting lainnya bisa menuliskan di kolom komentar atau menghubungi kami.
Salam good parenting untuk Indonesia yang lebih baik. Dari keluarga untuk bangsa.