Berdasarkan hasil riset tentang hukuman fisik (Meta analisis dari 88 penelitian, Gershoff, 2002) bahwa sebagian orang tua ingin anaknya belajar hal yang benar dari kesalahan. Tujuannya agar anak-anak bisa belajar tentang menjadi adil, menjadi baik dan memiliki empati, melawan godaan, dan membuat keputusan yang tepat saat mereka tidak bersama orang tua.
Dengan kata lain orang tua dalam penelitian tersebut sedang melakukan internalisasi moral. Namun, 13 dari 15 penelitian menunjukkan bahwa hukuman fisik diperkirakan memberikan internalisasi moral yang rendah.
Memang, sebagian besar orang tua ingin agar anak mereka tidak menyakiti orang lain (secara verbal dan fisik). Seperti tidak mengejek, tidak kasar, tidak memukul anak yang lain, tidak menyerang atau melecehkan. Namun 27 dari 27 penelitian menemukan bahwa hukuman fisik diperkirakan berkaitan dengan tingkat agresif yang lebih tinggi, baik secara verbal maupun fisik.
Sebagian besar orang tua ingin anaknya terhindari dari masalah seperti perbuatan criminal, merusak barang orang lain, dan bersikap anti sosial. Tapi, 12 dari 13 penelitian menunjukkan bahwa hukuman fisik menyumbangkan tingkat yang lebih tinggi pada kenakalan anak-anak dan anti sosial.
Lalu, Apakah Hukuman Fisik Berpengaruh pada Kesehatan Emosional Anak-anak?
Sebagian besar orang tua percaya bahwa hukuman fisik tidak berdampak lama terhadap kesehatan emosional anak-anak mereka. Bahkan sebagian diantaranya percaya bahwa hal tersebut membuat anak-anak lebih kuat.
Padahal ketika orang tua menampar anak-anaknya, mereka fokus pada sikap anak dan bukan pada perasaan anak terhadap mereka. Namun, anak-anak merespon tindakan orang tuanya secara emosional. Nah, 13 dari 13 penelitian menemukan bahwa hukuman fisik diprediksi menciptakan hubungan orang tua dan anak menjadi lebih buruk.
Disiplin Tidak Identik dengan Hukuman
Kalau kita pelajari dari hasil riset tersebut, bisa disimpulkan bahwa disiplin tidak identik dengan hukuman.
Jadi, disiplin yang kita bahas disini adalah yang berkaitan dengan mental disiplin. Maka untuk memiliki mental disiplin proses yang harus dilakukan adalah menumbuhkan. Karena pada dasarnya manusia sudah memiliki bagian otak yang disebut pusat nalar. Hal inilah yang bisa membedakan baik-buruk, benar-salah, dan apa yang harus atau tidak boleh dilakukan.
Kemampuan inilah yang bisa membedakan antara manusia dan hewan. Dengan kemampuan ini manusia cenderung berbuat kebaikan, termasuk kebaikan dalam bentuk disiplin. Jadi bukan hanya sebatas pada perilaku, misalnya bangun pagi tepat waktu, sholat belajar, makan, selalu tertib
Bukan hal yang kaitannya perilaku saja. Tapi lebih dari itu, disiplin yang kita bahas ini adalah kesadaran. Bedanya adalah kalau perilaku bisa dibiasakan melalui latihan terus menerus. Kalau kesadaran dalam berdisiplin adalah proses yang perlu ditumbuhkan.
Pada prinsipnya kalau hukuman itu cenderung menyakiti dan menakutkan bagi yang dihukum namun belum tentu menyadarkan.
Disiplin VS Hukuman Pada Anak-anak
Kebanyakan orang tua memberikan hukuman yang bersifat menyakiti dan menakutkan anak. Tapi belum tentu menyadarkan anak.
Mengapa? Karena teriakan, kritikan, bahkan pukulan walupun seringkali dilihat sebagai hukuman oleh orang tua, bisa dilihat oleh anak sebagai bentuk perhatian. Sebaiknya orang tua juga tahu cara mendisiplinkan anak tanpa membentak ya.
Lalu, bagaimana menumbuhkan mental disiplin sesuai fase tumbuh kembang anak?
Pada Anak Usia 0 – ± 7 Tahun
Untuk anak usia 0 hingga kurang lebih 7 tahun, menumbuhkan mental disiplin dapat dilakukan dengan kebaikan yang menyenangkan. Hindari kata yang berkonotasi membebani, ancaman, hukuman, janji, dan reward.
Perbanyak penjelasan positif disiplin dan mengapresisasi anak sesering mungkin juga dapat dilakukan. Ayah-Bunda juga bisa menunjukkan manfaat disiplin melalui cerita-cerita yang disukai anak. Sebisa mungkin libatkan anak di setiap aktivitas yang terkait dengan kepentingan atau kebutuhan anak (bukan memaksa anak terlibat).
Pada Anak Usia ± 7 – 12 tahun (usia anak-anak akhir – remaja)
Ayah-Bunda bisa memperbanyak diskusi tentang resiko, sebab-akibat, dan konsekuensi dalam situasi yang menyenangkan. Anak juga bisa dikenalkan hukuman dan reward, yaitu dengan melibatkan anak dalam membuat aturan.
Pada usia ini Ayah-Bunda bisa memberi kesempatan salah tapi bukan membiarkan ya. Orang tua dan anak sebaiknya konsisten dalam hal disiplin serta memahami konsekuensi yang harus diterima. Boleh tega asalkan bukan kekerasan. Jadi, orang tua lebih prihatin/menyesal daripada kecewa/marah.
Pada Anak Usia ±12-18 tahun
Menumbuhkan disiplin pada anak usia ini dapat dilakukan dengan memberikan amanah atau tanggung jawab sesuai kesanggupan. Ajak anak untuk mendiskusikan tentang pilihan kehidupan masa depan. Juga memberi kewenangan terkait hal-hal yang menyangkut kepentingan anak, misalnya jadwal kegiatan sehari-hari, pilihan sekolah dan jurusan
Ayah-Bunda juga bisa memberikan tugas penting yang menjadi tanggung jawabnya. Misalnya dengan memberikan tugas kepada anak sulung untuk mengunci pintu setiap malam. Mungkin hal ini terlihat remeh tapi sebenarnya bisa melatih tanggung jawabnya.
Selain itu, bisa juga dengan melibatkan anak dalam proses evaluasi dan perencanaan dalam kehidupan rumah tangga juga bisa melatih mental anak juga loh.
Sebagaimana menumbuhkan tanaman, untuk bisa menumbuhkan perilaku disiplin pada anak tentunya melalui proses. Proses inilah nilai ibadahnya karena dalam proses good parenting, ada kesabaran, kerja keras, belajar, contoh perilaku, doa, dan tawakal.
Salam,
Good parenting untuk Indonesia yang lebih baik
Dari keluarga untuk bangsa