Apa kabar Ayah-Bunda, Selasa Sharing kali ini ada salah seorang anggota yang sharing tentang kasus yang saat ini sedang tren di kalangan peserta didik. Yup, apalagi kalau bukan tentang sekolah daring alias PJJ?
Bunda IP (inisial ya), alumni sekolah parenting harum adalah seorang guru BK di sebuah sekolah SMP Swasta di Malang. Pandemi ini memberikan beberapa dampak serius pada peserta didik saya, mulai dari malas mengerjakan, kesulitan memahami, atau bahan putus sekolah
Nah, saat semacam ini upaya maksimal dari bapak atau ibu guru untuk menjaga agar semangat belajar peserta didik tetap on the track menjadi semakin sip. Beberapa alternatif juga sedang diujicobakan. Salah satunya kolaborasi dengan wali murid. Hampir 70% mengeluhkan angkat tangan dan pasrah pada guru.
Ayah-Bunda, kondisi seperti ini hampir dialami semua orang tua, guru dan siswa. Bahkan tidak hanya di Indonesia lho. Keengganan orang tua terlibat dalam proses edukasi pada anak-anak biasanya karena orang tua juga sudah lelah dan mengalami ‘stress’ sendiri dengan persoalan rumah tangga dan nafkah hidup sehari-hari.
Para orang tua berharap pihak sekolah (guru) itu bisa membantu meringankan beban terkait membelajari anak.
Lah ketika pihak sekolah mengajak orang tua untuk terlibat dalam proses, maka orang tua merasa ditambahi beban lagi. Akibatnya terjadilah penolakan dalam berbagai bentuk sikap.
Bunda IP, sebagai guru pun mengaku jika akhirnya dia memakai jurus kebatinan. Bunda IP menyampaikan kepada para orang tua bahwa anak-anak adalah titipan Allah. Kalau tidak ada campur tangan orang tua (sebagai orang yang dititpi amanah), lantas bagaimana?
Jika orang tua hanya pasrah dengan apa kata guru, tanpa ada keterlibatan langsung, lalu apa yang harus dilakukan guru?
Dalam hal ini, menurut Bunda Abyz, lebih baik mengubah strategi penyampaian pada orang tua terkait keterlibatannya.
Pihak sekolah pun wajar jika sudah lelah dan kehabisan ide. Nah, tanpa disadari, pilihan kata dan proses melibatkan orang tua dengan mengajak kolaborasi, ada kecenderungan mengandung kata/kalimat penekanan yang berkesan ‘mewajibkan, keharusan, menuntut dan memaksa’.
Meski pihak sekolah tidak merasa menyampaikan yang demikian, namun para orang tua/wali menganggapnya demikian. Maka perbedaan persepsi pun menjadi masalah yang mengganggu.
Pihak sekolah juga bisa mengubah teknik komunikasinya ke orang tua/wali. Yaitu dengan memilih kata/kalimat dan sikap (body language) yang lebih berkesan berempati pada orang tua/wali, menawarkan bantuan, lalu lanjut negosiasi kerjasamanya dalam berperan.
Misalnya:
‘Tentu berat sekali sudah setahun ini harus mendampingi anak belajar di rumah. Kami akan coba membantu, kita bisa mulai dengan … bla … bla (sampaikan secara bertahap (tidak borongan ya), apa yang guru akan lakukan lalu sambung dengan apa yang orang tua harus lakukan.
Sebaiknya orang tua juga diberi kesempatan untuk menyampaikan pendapatnya. Apa yg disanggupi dan bagian mana yg tidak sanggup. Pokoknya ada proses negosiasi sampai ketemu ‘kliknya’.
Prinsipnya fokus pada proses melibatkan orang tua secara bertahap, bukan ‘memaksakan’ orang tua untuk terlibat. Walau sebenarnya ya memang orang tua harus terlibat sih. Kan ini untuk kepentingan terbaik anaknya.
Tapi mesti disadari bahwa belum semua orang tua sudah belajar good parenting.
Apa kata orang tua (alumni sekolah parenting harum)?
Seperti biasa, para alumni juga memberikan pendapatnya masing-masing di sharing parenting kali ini. Apa saja itu?
Sepakat dengan bunda Abyz. Ini dialaami hampir semua wali murid. Kalau saya sendiri berusaha “melek dan meyakinkan diri bahwa anak-anak kita sekolahkan bukan hanya dapat pelajaran terus pulang. Sekolah bukanlah tempat penitipan anak. Mereka (anak-anak) adalah tanggung jawab kita.
Kita butuh sekolah (guru, lingkungan, dan kurikulum). Saat seperti ini berat bagi kita para wali murid. Butuh kesabaran dan kemampuan yang cukup untuk mendampingi anak di masa seperti ini. Mau tidak mau kita orang tua harus terlibat langsung. Peduli dengan perkembangan belajar anak, dan bisa memberikan kenyamaan saat anak belajar seperti yang pernah didapat anak di sekolah. Bedanya, kini kita sebagai orang tua lebih banyak berinteraksi dengan anak secara langsung.
-Bunda NC-
Orang tua mungkin bingung dengan peran barunya di masa pandemi. Yang biasanya menyerahkan pada guru, saat ini sangat perlu terlibat. Perlu pendekatan dengan orang tua dulu, agar mereka memahami bagaimana cara mendampingi anak belajar. Dengan mengetahui cara mendampingi anak, orangtua akan lebih mudah untuk menjalankannya.
-Bunda AJ-
Kalau saya sebagai orang tua, sangat terbantu dengan kalimat “Mboten nopo-nopo, Bunda (tidak apa-apa Bunda)” yang keluar dari Ustad maupun Ustadzah.
Kadang anak gak ngerjakan PH karena link dishare ke group WA dan emak kelewatan gak baca. Salah upload tugas, harusnya diupload di A tp emak uploadnya di B, akibatnya anak dianggap belum mengerjakan semua tugas (Kasus ini saksinya Mbak IW).
Yakinlah, tak satupun pelakon dalam sinetron berjudul Ikatan Cinta guru dan orang tua ini merasa perannya mudah, termasuk anak-anaknya.
-Bunda L-
Saya pernah jadi guru dengan 20-30an orang siswa perkelasnya. Dengan segala kurang lebihnya …
Tapi entah, saya merasa masih butuh belajar banyak saat harus mengajar anak sendiri yang jumlahnya 3 anak saja, lebih banyak kurangnya bahkan.
Saat pandemi seperti ini mau tidak mau memang orang tua jadi dominan dalam proses pembelajaran akademik. Padahal tidak semua orang tua punya latar belakang yang akademis juga.
Apalagi banyak anak yang lebih manut sama guru daripada sama orang tuanya kalau tentang pembelajaran sekolah. Seperti anak saya, memang lebih mendengar apa yang dikatakan guru mereka.
Adem banget baca kalimat perkalimat dari Bunda Abyz. Semoga semua guru bisa berkomunikasi bijak seperti itu. Dan juga yang dialami Bunda L pun sama juga saya alami. Tentang tugas yang “belepotan” pengumpulannya, pemahaman informasi yang terkadang gak kebaca, atau kebaca tapi salah mengartikan, salah memahami, dll.
Kata-kata dr guru “Gak papa bu… nanti bisa diulang lagi, atau nanti bisa seperti ini itu, sangat membantu sekali memang. Saling pengertian, saling paham kelemahan dan bisa saling bantu antar kedua belah pihak, sangat dibutuhkan dalam situasi seperti ini.
-Bunda AQ-
Ini dari sisi orang tua ya nanggapinya. Zaman awal pandemi, kami sempat stres dengan tugas-tugas dari sekolah yang buanyak harus tiap hari di kerjakan dilaporkan di grup dll, ribet. Sampai di titik anak saya mogok tidak mau mengerjakan sama sekali tugas sekolah, komunikasi sama wali kelas juga tidak mendapat solusi. Kami coba japri teman2-teman sesama wali murid sekelas, ternyata mengalami hal yang sama. Dari situlah kami menghadap ke pihak sekolah menyampaikan semua uneg-uneg, dan pihak sekolah pun curhat juga. Ya sudah, dicarilah jalan tengahnya agar menumbuhkan rasa tanggung jawab dan semangat belajarnya. Alhamdulillah di kelas 3 ini “sekolah-sekolahan”😄 lebih nyaman buat anak, orang tua dan bu guru.
-Bunda E-
Seruu pembahasannya. Saya pribadi lebih setuju kalau anak dihandle sendiri buka menyerahkan sepenuhnya kepada guru. Mungkin karena selama ini orang tua terlena dengan meyerahkan anak sepenuhnya pada guru. Alhamdulillah covid19 menyadarkan bahwa mendidik anak adalah tugas orang tua. Guru hanya membantu, bukan dibalik 😁
-Bunda Z-
Klo saya ingat pesennya Bu Abyz. “Terima situasi dan kondisi ini. Ya saya terima, saya nikmati kerempongannya. Suatu saat saya pasti merindukan situasi seperti ini. Saat menikmati pun kadang-kadang juga lepas kontrol, apalagi kalau pas badan capek banget.
-Bunda D-
Seru ya membaca komentar para bunda di WAG alumni sekolah parenting harum. Bagaimana pun kondisi kita saat ini, semoga bisa terus bersabar dan menemukan solusi terbaik untuk membantu anak-anak belajar ya, ayah-bunda.
Bagaimana dengan pengalaman ayah-bunda mendampingi anak-anak belajar daring? Yuk, sharing di kolom komentar.
Salam good parenting untuk Indonesia yang lebih baik. Dari keluarga untuk bangsa.