Selasa sharing di grup alumni Sekolah Parenting Harum kali ini dibuka oleh Bunda Abyz, beliau melemparkan sebuah pernyataan dari hasil beliau mengikuti sharing sexology. Etapi jangan ngeres dulu ya, hehehe.
Ini sebenarnya terkait dengan meningkatnya kasus KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan perceraian di masa pandemi yang terjadi di semua negara di dunia.
Dari riset yg dilakukan oleh International NGO, ada fakta-fakta menarik, diantaranya
- Pernikahan dan hubungan dalam keluarga yang banyak dilakoni oleh manusia cenderung hanya formalitas saja.
- Motivasi dan sugesti positif yang banyak diterima orang-orang bermasalah dengan pasangan atau keluarga cenderung menjadi toxic yang melemahkan.
Dua fakta ini yang secara detail dijelaskan menjadi pemicu peningkatan kasus KDRT dan perceraian.
Pernikahan dan Hubungan Dalam Keluarga
Untuk yang pertama, analoginya seperti istilah Islam KTP pernah dengar, kan?
Di KTP tertulis beragama Islam namun faktanya tidak pernah beribadah dan berperilaku sesuai ajaran agama islam.
Dalam konteks pasangan suami-istri, formalitas gambarannya seperti itu. Berstatus suami atau istri namun tidak menjalankan kehidupan yang seharusnya sebagai suami istri. Hanya statusnya menikah 🙏 Namun, tentu saja itu tidak semua ya Ayah-Bunda ^_^
Mungkin sedikit sekali orang yang berpikiran bahwa rumah tangga bukan formalitas melainkan jalinan kasih sayang, merajut harapan, dan cita-cita jika diberi umur panjang. Tentunya hal ini tidak akan menjadi penyebab naiknya angka perceraian.
Motivasi dan Sugesti Positif
Lalu, bagaimana dengan point kedua?
Misalkan seorang istri yang merasa sudah berjuang mengasuh dan mendidik anak dengan baik, namun perilaku anaknya masih dianggap tidak baik. Lalu istri juga sudah berusaha maksimal melayani suami dengan baik, tapi suami masih sering menyampaikan ketidakpuasannya. Atau sebaliknya suami yang sudah merasa baik namun masih tetap salah di mata istri.
Kemudian dalam kondisi sedih curhat pada keluarga. Keluarga pun bermaksud menguatkan dengan memberi nasihat untuk harus sabar dan bersyukur. Sebenarnya nasihat itu benar dan baik, tapi sering menjadi toxic karena yang lagi sedih bisa makin merasa disalahkan karena dianggap kurang sabar dan kurang syukur. Jadinya kurang tepat deh.
Tidak hanya itu, hal seperti ini juga terjadi karena banyak suami/istri ingin tampak selalu baik pada pasangannya. Tidak ada salahnya sih, karena keukeuh pada tujuan biar tampak baik (cenderung maunya sempurna). Sampai-sampai tidak memberi kesempatan pada pribadinya untuk menjadi diri sendiri yang apa adanya. 😊🙏
Dalam sebuah keluarga, keterbukaan satu dengan yang lain diperlukan. Masalahnya adalah bila pasangan tidak bisa terbuka satu sama lain. Alih-alih bersabar tapi sebenarnya ngempet. 🙏🙏 Jadi, sejak dini penting sekali mengajarkan ilmu komunikasi yang baik termasuk kepada pasangannya nanti.
Pentingnya Kesehatan Mental
Nah, setiap perilaku memang selalu dipengaruhi oleh kondisi psikologis. Mental yg sehat membuat individu mampu mengatasi dan mengendalikan dirinya sendiri secara berimbang dengan perlakuannya terhadap orang lain.
Jadi menjaga kesehatan mental itu mutlak diupayakan. Mental yang sehat insyaallah akan sangat membantu saat menghadapi masalah dengan pasangan atau anggota keluarga lainnya. Oleh karena itu Sekolah Parenting Harum mengadakan kelas online bertema “Jaga Kesehatan Mental di Masa Pandemi”
Bagaimana menjaga kesehatan mental keluarga di masa pandemi agar tetap sehat secara batin menghadapi wabah yang masih panjang ini?