Apa kabar ayah-bunda?
Selasa sharing di whatsapp grup Sekolah Parenting Harum kali ini akan membahas tentang pengaruh ketidaktuntasan tugas tumbuhkembang anak terhadap pola perilaku ketika dewasa.
Jadi, pembahasannya tentang anak yang sudah dewasa, usia 20 tahun tapi masih moody banget terkait tanggungjawab dan egosentrisnya, masih seperti anak fase 1.
Dalam studi kasus, anak tersebut sulit menerima keadaan yang dialami keluarganya baik dr sisi ekonomi maupun yg lainnya.
Misalnya begini, “kalau anak dari keluarga lain bisa dapat fasilitas mobil dari orang tuanya ya aku harus bisa juga.”
Nah, orang tua menyatakan bahwa anak tersebut memang dulu motoriknya bertumbuh dengan cepat. Sebelum setahun bisa jalan tanpa merangkak dan usia 5 tahun bisa calistung dengan lancar. Lalu, saat usianya 10 tahun sudah mengerti kerja cari nafkah.
Anak yang Sudah Dewasa Bisa Mengubah Pola Pikir dan Perilakunya
Jadi, begini pembahasan Bunda Abyz terkait masalah tersebut…
Ketika anak sudah berada di fase dewasa, maka yang bisa mengubah kondisi pola pikir dan perilakunya itu ya dirinya sendiri.
Singkatnya begini, tugas orangtua sebenarnya sudah selesai meski mungkin dalam mengerjakan tugasnya itu banyak salam dan nilainya di bawah standart KKM.
Nah, kondisi “anak dalam studi kasus” tersebut bisa jadi memang karena kurang tepatnya pola asuh, tapi bukan berarti jadi pembenaran untuk terus menerus berperilaku yang negatif.
Mengapa?
Karena di usia dewasa proses perkembangan otak nalar dudah mencapai fungsi optimal. Artinya individu yang bersangkutan sudah mampu melakukan koreksi dan evaluasi diri. Namun, banyak yang justru tidak menyadari bahwa di dalam dirinya ada yang perlu diperbaiki.
Kalau yang dibahas dalam studi kasus tersebut, justru orang tuanya tahu dan menyalahkan dirinya yang sudah salah melakukan pola asuh.
Tapi, apakah menyalahkan diri sendiri bisa merubah keadaan?
Menyalahkan yang sudah terjadi di masa lalu justru bisa menjadi siksp yang kurang tepat lagi karena mindset orang tua jadi fokus pada kesalahannya.
Padahal orang tua bisa membantu anak untuk menyadarkan bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam dirinya. Dengan begitu orang tua bisa sedikit ‘menebus kesalahan masa lalu’.
Menyikapi anak yang sudah dewasa bisa juga dilakukan dengan metode “relasi rekan sejawat”.
Lalu, bagaimana cara orang tua membantu menyadarkan anak?

Gambar oleh Sasin Tipchai dari Pixabay
Apakah bisa hanya bilang, “ayo… sadar, Nak!”
Nanti kalau anaknya jawab, “Aku nggak pingsan, Bunda!”
Wkwkwkwk….
Jadi, misalnya begini ya ayah-bunda…
Untuk bisa kerja di perusahaan A harus punya skil ABCD, gimana mencapainya? Apa aja yg dibutuhkan? dll.
Buat list bareng dengan anak, masukkan juga unsur attitude. Nah, dari situ muncul refleksi dan evaluasi diri terkait attitude, perilaku, pola pikir. Orang tua bisa memberikan masukan tanpa mengkritik.
Ini tentu proses panjang dan bertahap ya…
Berikutnya jika anak sudah bisa menyadari bahwa ada yang perlu diperbaiki dalam dirinya, orang tua bisa membantu memberikan alternatif ke mana dan bagaimana prosesnya. Namun, biarkan anak yg menentukan pilihan dan jalan yg mau ditempuh.
Pengakuan Diri
Melalui sharing dan diskusi tersebut, ada seorang anggota yang memeberikan tanggapan berupa carita masa lalunya,
Awalnya, karena selalu dibandingkan sama anak tetangga yang kerja di perusahaan elit, jadi dokter wes pokoknya yang sukses-sukses. Saya ngga terima donk, kalau saya harus jadi kayak gitu ya harus dikasih fasilitas yang sama supaya jadinya sama.
Tapi saya ngerti kalau orang tua nggak mungkin mengiyakan, saya sampai sumpek dibandingin terus. Akhirnya saya melarikan diri dengan cara menikah saja agar tidak dibandingkan lagi.
Ternyata, setelah menikah tetap saja disbanding-bandingkan. Suaminya ini gini gaji segini sudah beli ini… sudah punya itu…
Akhirnya saya tantang orang tua, “ya udah keluarga aku cerai aja biar cari suami yang kaya”
Lalu, saya pernah ikut seminar inner child dan belajar kelas parenting di LKSA Harum. Akhirnya saya memilih… Ya udahlah, namanya orang tua pasti ya gitu, ngga akan bisa kita rubah.
Sekarang saya belajar menerima keadaan dan banyak-banyak berdoa agar dikabulkan apa yang saya minta.
Sebenarnya, setelah menikah juga sempat nggak terima keadaan suami di PHK. Sampai-sampai pas dikunjungi Bunda Abyz saya malah curhat.
Sekarang… Akhirnya bisa belajar menerima rejeki itu pasti sesuai kebutuhan kita, anak-anak butuh makan pasti ada jalan.
Nah, curhatan salah satu alumni yang bisa membuat pengakuan ini berarti sudah menyadari dan melewati masa berproses untuk menjadi loss dan dooolll hehe…
Yang Bisa Menyadarkan Mereka Bukan Kita

Gambar oleh Olya Adamovich dari Pixabay
Ada lagi sharing atau curhatan dari alumni lainnya …
Bu abyz ganti saya ini terulik cerita. Tentang emak saya sendiri.
Menurut saya, anak-anaknya emak ini sudah super sabar dengan kecerewetan emak di masa tuanya.
Contohnya saat ibu ingin dibuatkan sayur asam. Anaknya mengiyakan dan berharap emak saya ini bisa menunggu sambil duduk manis.
Tapi kenyataannya, emak malah nungguin sambil mendikte secara detail apa yang harus dilakukan anak. Lalu kalau nggak cocok emak ngomel.
Nah, Adik yang tinggal sama emak ngga berani menyampaikan dan hanya “iya… iya” saja menerima omelan emak.
Tapi, sebagai anak yang “badung” setiap pulang ke rumah saya bilang ke emak:
“Yang sabar, kalau bicara dipelankan. Jangan sering marah-marah. Terimalah keadaan kalau enak sudah tua. Tenanga emak sudah ngga seperti dulu jadi ya terima saja kalau nggga bisa cekatan. Terima juga kalau saat ini tidak semua pekerjaan bisa emak lakukan. Ingat ya, Emak sakit itu karena sering marah dan ngomel.”
(Catatan riwayat penyakit emak pernah stroke 1x karena penyumbatan sampe opname 2 minggu, vertigo sering kambuh)
Jd vertigonya emak ini sering kambuh karena kecapekan, mikir lalu ngomel, dan marah-marah.
Bagaimana cara menyadarkan emak agar bisa menerima keadaannya?
Tanggapan Bunda Abyz pada curhatan tersebut adalah kita harus fokus pada proses sesuai kemampuan kita. Yang bisa menyadarkan bukan kita. Kewajib anak itu mengikhtiarkan dengan cara yang layak dan santun.
Lha kalo tetap saja nggak ada perubahan, mungkin belum sampai waktunya atau Allah punya rencana lain, entahlah….
Sebaiknya kondisi itu jangan sampai mempengaruhi kehidupan diri sendiri sebagai manusia dewasa. Kita dan orang tua kita punya tanggungjawab masing-masing.
By the way… ngomong-ngomong gimana sih caranya mengatasi innerchild?
Kata Bunda Abyz setelah menyadari ada yang perlu diperbaiki, lanjut bergerak melakukan. Bisa self healing atau salah satu alternatif perbaikannya ya terapi. Nah, kalau terapi pun harus ada waktu khusus karena tidak bisa disambi dengan momong anak ya.
Terapi butuh ketenangan jadi kalau bisa ada kerjasama gitu dengan pasangan, misalnya ada yang jagain anak kalau pas bunda sedang terapi.
Namun setidaknya kita sudah bisa menyadari ada yang perlu diperbaiki di dalam diri dan punya kemauan untuk melakukan perbaikan. Itu adalah modal besar ya ayah-bunda.
Masih banyak kok yang tidak paham dan tidak sadar dengan kondisi dirinya yang belum beres. Ciri-ciri yang paling umum tampak adalah sikap sulit mengendalikan emosi dan sulit memaafkan.
Kesimpulan
Nah, itu dia rangkuman Selasa sharing di WAG Alumni Sekolah Parenting Harum. Memang ya jika ada masalah lebih baik tidak dipendam sendiri. Ada baiknya segera menyadari dan menerima masalah tersebut untuk kemudian ditemukan sebabnya.
Ayah-bunda juga bisa konsultasikan masalahnya ke Pondok Parenting Harum dengan menghubungi kontak yang tersedia di web ini.
Terima kasih telah membaca artikel ini, semoga bermanfaat.
Salam good parenting untuk Indonesia yang lebih baik
Dari keluarga untuk bangsa