Diskusi tentang sosok ayah selalu menarik dan penuh lapisan. Begitu pula diskusi yang terjadi di grup alumni Sekolah Parenting, yang hari itu diawali oleh sebuah sharing mendalam dari Bu Abyz Wigati. Dari satu refleksi sederhana, percakapan berkembang menjadi ruang aman tempat para ibu saling membuka pengalaman, pertanyaan, dan luka-luka lama yang ternyata masih melekat.
Dari sinilah lahir berbagai sudut pandang tentang ayah—sosok yang sulit didefinisikan dengan kata-kata, tetapi selalu nyata dalam rasa.
Ayah, Pilar yang Tetap Dirasakan Meski Retak
Bu Abyz membuka diskusi dengan sebuah kalimat kuat:
“Ayah adalah sosok yang sulit didefinisikan dengan kata, tapi bisa dijelaskan lewat rasa.”
Peran fisik ayah mungkin bisa digantikan oleh siapa saja. Banyak ibu mampu menjadi single parent yang menafkahi dan merawat anak-anaknya dengan luar biasa. Namun, kehilangan ayah—baik secara fisik maupun psikis—tetap meninggalkan ruang kosong yang berdampak pada struktur keluarga.
Ketika seorang pria meninggalkan posisinya sebagai ayah, struktur keluarga akan bergeser, bahkan bisa retak. Bukan semata soal nafkah, tetapi hilangnya keteladanan tanggung jawab yang seharusnya dilihat anak dari figur ayah.
Ayah bisa digantikan secara fungsi,
tetapi rasa kehilangan tidak pernah benar-benar hilang.
Ayah yang Hadir Tanpa Hadir
Diskusi kemudian berkembang pada isu yang sering terjadi dalam banyak keluarga: ayah yang secara fisik ada di rumah, tetapi secara psikis tidak hadir. Tidak mengobrol, tidak memeluk, tidak merespon, tidak menegaskan cinta.
Dalam refleksi para alumni, kondisi ini terkadang lebih menyakitkan daripada kehilangan karena kematian. Anak merasa hidup dalam jarak yang tidak terlihat. Mereka bertanya-tanya apakah mereka penting, layak dicintai, atau hanya sekadar “ada”.
Dampaknya sering muncul dalam bentuk:
-
kurang percaya diri,
-
demam panggung yang parah,
-
mudah merasa tidak dilihat atau tidak cukup baik,
-
kesulitan membangun koneksi emosional.
Semuanya dapat terjadi hanya karena ayah tidak benar-benar hadir.
Keluarga yang Tidak Berkembang, Ketika Bertahan Lebih Dominan daripada Bertumbuh
Dalam penjelasan Bu Abyz, keluarga yang tidak berkembang bukan berarti keluarga yang bermasalah, melainkan keluarga yang terlalu sibuk bertahan. Ketika ibu menjalankan semua peran sendirian, fokusnya bergeser dari pertumbuhan diri menjadi bertahan demi anak-anak.
Anak—melihat teladan itu—sering tumbuh dengan pola serupa:
hidup untuk bertahan, bukan untuk berkembang.
Ini bukan kesalahan siapapun, hanya sebuah pola yang terbentuk dari kondisi yang tidak ideal.
Kehilangan Ayah dan Proses Emosi yang Tidak Selesai
Salah satu alumni berbagi tentang bedanya kehilangan ayah karena meninggal dengan ayah yang hidup tetapi tidak hadir. Anak yang kehilangan karena kematian biasanya tahu bahwa ayah “pergi karena keadaan”, sedangkan anak dengan ayah yang tidak hadir secara psikis sering menyimpan tanya yang tidak terjawab.
Dalam kondisi seperti ini, anak sering dituntut untuk tangguh sebelum mereka selesai belajar tentang kelembutan. Mereka belajar bertahan lebih awal dari yang seharusnya.
Namun Bu Abyz menekankan bahwa dampak kehilangan—dalam bentuk apapun—bisa sembuh selama seseorang mau belajar dan mau berubah. Tantangannya, tidak semua orang merasa perlu berubah atau merasa ada yang perlu dipulihkan.
Berbagai Cerita, Berbagai Luka, Berbagai Pemahaman
Dalam diskusi itu, banyak alumni berbagi kisah nyata:
-
Ada yang tumbuh tanpa kenangan indah bersama ayah.
-
Ada yang selalu melihat ayah sebagai sosok menakutkan.
-
Ada yang iri melihat anak-anak kini bisa bebas memeluk ayahnya.
-
Ada yang pernah “mencari ayah” sendiri karena kerinduan emosional.
-
Ada yang tumbuh dengan nenek karena ibu harus berjuang sendiri.
-
Ada yang sadar pola pengasuhan masa kecilnya mempengaruhi pernikahan hari ini.
-
Ada yang ingin berubah tetapi membutuhkan pendampingan profesional karena kondisi neurodivergen.
-
Ada yang masih berproses memaafkan kenangan kekerasan fisik dari figur ayah.
Setiap kisah berbeda, tetapi satu benang merahnya: dampak ayah selalu terasa, baik yang hadir maupun yang absen.
Makna Hari Ayah Setelah Semua Refleksi Ini
Hari Ayah tidak hanya tentang ucapan manis dan foto keluarga. Percakapan di grup alumni Sekolah Parenting itu menunjukkan bahwa Hari Ayah adalah momen:
-
untuk mengakui luka, bukan menyembunyikannya;
-
untuk memahami bahwa ayah bisa tidak sempurna, tapi tetap penting;
-
untuk menghargai ayah yang sedang belajar memperbaiki diri;
-
untuk menguatkan ibu yang menjalankan dua peran sekaligus;
-
untuk memberi ruang bagi anak—termasuk diri kita sendiri—untuk memulihkan luka masa kecil.
Karena pada akhirnya, keluarga ideal bukan tentang lengkap atau tidak lengkapnya anggota keluarga, tetapi tentang kemauan untuk tumbuh bersama, bahkan dari tempat yang tidak sempurna.
Hari Ayah mengingatkan kita bahwa setiap perjalanan ayah–anak adalah unik.
Ada yang hangat, ada yang retak, ada yang penuh luka, ada juga yang baru dipelajari ulang ketika kita dewasa.
Namun semuanya layak dihargai sebagai bagian dari perjalanan menjadi manusia yang lebih utuh.

