Artikel ini merupakan rangkuman dari sharing parenting bersama Bu Abyz Wigati dalam program Dialog Malang Siang di Pro 1 RRI Malang, dengan tema “Merespon Kebohongan Anak.” Dalam sesi tersebut, Bu Abyz mengajak para orang tua untuk melihat perilaku berbohong bukan sebagai kesalahan semata, tetapi sebagai jendela untuk memahami perasaan dan kebutuhan anak.
Kebohongan anak sering kali memicu emosi — marah, kecewa, bahkan rasa gagal sebagai orang tua. Namun, sebagaimana disampaikan Bu Abyz, setiap kebohongan selalu memiliki alasan di baliknya. Anak tidak berbohong karena jahat, tetapi karena sedang belajar menyesuaikan diri dengan lingkungan dan reaksi orang dewasa di sekitarnya.
Di Sekolah Parenting Harum, kami percaya bahwa pengasuhan yang bijak dimulai dari pemahaman dan keteladanan. Mari kita pelajari bersama bagaimana cara merespon kebohongan anak dengan lebih tenang, empatik, dan penuh cinta.
Mengapa Anak Berbohong?
Dalam penjelasannya, Bu Abyz menegaskan bahwa kebohongan anak tidak sama dengan kebohongan orang dewasa.
Bagi anak, berbohong sering kali adalah bentuk komunikasi — cara sederhana untuk menghindari masalah, mencari perhatian, atau sekadar bereksperimen dengan imajinasi.
Beberapa alasan umum mengapa anak berbohong antara lain:
-
Takut dimarahi atau dihukum.
Jika setiap kesalahan anak direspons dengan kemarahan, maka anak belajar bahwa jujur berarti berisiko. Ia memilih berbohong sebagai bentuk perlindungan diri. -
Ingin menyenangkan orang tua.
Anak berkata sudah belajar atau sudah salat bukan karena ingin menipu, melainkan karena ingin membuat orang tuanya senang. -
Meniru perilaku orang dewasa.
Tanpa sadar, anak belajar dari apa yang ia dengar. Kalimat seperti “Bilang aja Ibu nggak di rumah,” atau “Ayah belum gajian,” walau tampak sepele, memberi pesan bahwa berbohong kadang diperbolehkan. -
Imajinasi yang belum matang.
Untuk anak kecil, dunia nyata dan dunia khayal sering kali bercampur. Ia mungkin mengatakan hal “tidak benar” karena daya imajinasinya yang kuat, bukan karena ingin menipu.
Orang Tua sebagai Cermin Kejujuran
Anak belajar jujur bukan dari ceramah, tapi dari contoh nyata.
Menurut Bu Abyz, keteladanan orang tua adalah fondasi utama dalam pembentukan karakter anak.
Ketika orang tua menepati janji, mengakui kesalahan, atau berani berkata jujur meski sulit, anak belajar bahwa kejujuran adalah nilai yang berharga. Sebaliknya, bila anak sering melihat orang tuanya mengucap kebohongan kecil, maka ia menganggap kebohongan adalah bagian dari keseharian.
Menanggapi Kebohongan dengan Tenang dan Empatik
Saat anak berbohong, langkah pertama adalah menahan emosi. Reaksi yang penuh kemarahan hanya membuat anak merasa takut dan semakin menutup diri.
Alih-alih menuduh, Bu Abyz menyarankan untuk menggunakan pendekatan empatik dan komunikasi yang membuka ruang dialog.
Misalnya dengan kalimat:
“Ibu tahu kamu bilang sudah belajar, tapi sepertinya belum. Ibu nggak marah, cuma ingin tahu kenapa kamu bilang begitu.”
Kalimat sederhana seperti ini menenangkan anak dan mengundangnya untuk jujur tanpa rasa terancam. Anak pun merasa bahwa kejujuran diterima, bukan dihukum.
Bedakan Antara Hukuman dan Konsekuensi
Bu Abyz juga menekankan pentingnya membedakan hukuman dan konsekuensi.
Hukuman menanamkan rasa takut, sedangkan konsekuensi menumbuhkan kesadaran.
Contohnya, jika anak berbohong soal menonton TV, orang tua bisa berkata:
“Karena kamu bilang sudah berhenti padahal belum, berarti Ibu belum bisa percaya dulu. Besok Ibu temani kamu nonton ya, supaya kita bisa belajar jujur sama-sama.”
Pendekatan seperti ini tidak menekan, tapi mengajarkan tanggung jawab dan menjaga kepercayaan. Anak memahami bahwa kejujuran membawa kepercayaan, sementara kebohongan membuatnya berkurang.
Saat Orang Tua Pun Bisa Salah
Tidak ada orang tua yang selalu sempurna. Kita bisa saja terpancing emosi, bicara terlalu keras, atau bereaksi berlebihan. Namun, menurut Bu Abyz, mengakui kesalahan justru memperkuat hubungan dengan anak.
Ketika orang tua berkata, “Maaf ya, tadi Ibu terlalu marah,” anak belajar bahwa kejujuran dan kerendahan hati adalah bagian dari keberanian.
Ia belajar bahwa orang dewasa pun bisa salah, dan yang terpenting adalah bagaimana memperbaikinya.
Bangun Hubungan yang Hangat dan Terbuka
Kejujuran hanya bisa tumbuh dalam hubungan yang aman dan penuh kepercayaan.
Anak yang merasa diterima akan lebih mudah terbuka dan tidak merasa perlu berbohong.
Luangkan waktu berbicara santai setiap hari — bukan untuk mengoreksi, tapi untuk mendengarkan. Tanyakan perasaannya, dengarkan keluhannya, dan hargai kejujuran sekecil apa pun.
Dengan begitu, rumah menjadi tempat paling aman bagi anak untuk berkata jujur dan menjadi dirinya sendiri.
Penutup: Kejujuran Tumbuh dari Kasih
Kebohongan anak bukan sekadar perilaku yang harus dihentikan, tetapi sinyal yang perlu dipahami. Seperti disampaikan Bu Abyz dalam sharing di Pro 1 RRI Malang, momen ketika anak berbohong bisa menjadi kesempatan berharga untuk membangun kedekatan, melatih empati, dan menumbuhkan kepercayaan antara orang tua dan anak.
Dengan ketenangan, kasih, dan keteladanan, anak akan belajar bahwa berkata jujur tidak perlu ditakuti. Ia memahami bahwa kebenaran selalu lebih bernilai daripada citra yang tampak sempurna.
Mari terus belajar bersama!
Pondok Parenting Harum mengundang para orang tua untuk mengikuti Sharing Parenting Intensive, kegiatan rutin setiap bulan yang dilaksanakan di kantor LKSA Harum, Jl. Bantaran IIIA No.5 Malang.
Dalam sesi ini, para orang tua dapat berbagi pengalaman, berdiskusi langsung, dan mendapatkan panduan praktis untuk menghadapi berbagai dinamika pengasuhan — dengan pendekatan yang lembut, berlandaskan kasih, dan penuh kesadaran.
Untuk informasi jadwal kegiatan berikutnya, pantau media sosial Harum Family Center.
Bersama, kita tumbuh menjadi orang tua yang hadir dengan hati.

